Aiyra
membuka laptop abu-abunya, ia mulai menulis hasil laporan beritanya yang akan
ia kirim ke kantor. Ia benar-benar merasa banyak mimpinya yang menjadi
kenyataan, bahkan impian terbesarnya benar-benar tereksekusi, pergi ke Jepang.
Dinginnya
hujan Samarinda tak ada apa-apanya jika dibanding dingin de sini!
Aiyra membatin, lalu mulai merekatkan syal birunya di leher. Perapian yang
menyala tepat di tengah restoran hanya sedikit saja menyebarkan hawa hangat,
hawa hangat yang dibagi kepada seluruh pengunjung yang jelas tak akan cukup.
Aiyra
menggesekkan telapak tangannya berulang-ulang.
Lalu menyalakan tombol pada laptopnya, lampu tombol laptop abu-abunyanya
berkedip sesaat lalu redup kembali. Aiyra menepuk jidatnya, ia lupa jika
semalam Roy meminjam laptopnya. Ia merogoh tas ransel birunya berharap tak
meninggalkan charger laptopnya. Mata aira menyipit, ia juga melupakan
chargernya. Ia melirik pada teh hangat yang tak lagi menarik untuk diminum.
Aiyra segera membereskan barang-barangnya lalu pergi meninggalkan restoran
dengan sangat kesal
Aiyra
melangkah perlahan di trotoar jalan, kedua tangannya mengepal dalam jaket musim
dinginnya. Matanya menatap cone-block yang terpasang rapi sepanjang
trotoar. Bibirnya tak berhenti berceracau kesal. Ia bahkan tak memperhatikan
pohon-pohon sakura tak berdaun yang berada di sepanjang trotoar jalan dan
memungkinkannya tersandung.
“Aiyra.”
Sebuah
suara menghentikan langkahnya. Ia mengangkat wajahnya, Aiyra tertegun sesaat.
Lidahnya mendadak kelu, ia terdiam menatap sesosok pria tepat berdiri di
depannya.
0 comments:
Post a Comment