RSS

MI HO

ini cerpen yang terbit di Kaltim Post hari Minggu 13 Oktober 2013 



“Dalam pijakan memori kau terhambur sunyi”
***

Aku keluar dari pintu jamaah perempuan Masjid terbesar se-Asia Tenggara lalu segera menuruni tangga sebelah kanan, tangga terdekat dari pintu keluar, menuju lantai satu masjid. aku menyapu pandanganku ke bawah, berharap menemukan orang yang ku cari, namun nihil, aku tak menemukannya.
“Nanti makan dimana kak?” tanyaku pada kak Nur, kakak tingkat satu kosku yang berada tepat di sebelahku. Aku tahu dia sadar aku sedang mencari orang ‘itu’ dan pertanyaan ini ku harap dapat menghapus kesadarannya akan pencarianku.
“Di bawah, tempat kita buka puasa tadi, ada yang lain di sana,” jawabnya lembut mengingatkanku pada sekumpulan manusia yang terikat dalam sebuah organisasi penulis.
Kakiku akhirnya menapakkan tumitnya pada anak tangga terakhir, lalu perlahan melangkah ke arah kanan. Aku membuka lebar mataku yang membuat kornea mata berwarna coklat milikku terlihat membulat penuh ketika mendapati orang yang ku cari tak jauh berada di jalan yang sama-sama ku tuju.
“Saya mau ke kamar kecil dulu ya Zi.”
“Heh? Apa kak?” tanyaku terkejut.
“Saya ke wc dulu, kamu duluan aja,” jawabnya singkat.
“Eh iya kak,” jawabku cepat. Sedetik saja kau muncul di hadapanku aku kehilangan konsentrasi!
Aku melangkahkan kakiku menuju arahnya namun ku lihat ia tak akan keluar dari pintu masjid yang sama dengan yang akan aku lewati. Aku berusaha seolah biasa melangkahkan kakiku lebih lebar dari sebelumnya. Jarakku kini tepat satu meter di belakangnya. Dia tak menengok ke arahku, aku berusaha menyelaraskan langkah kakiku dengannya, dan aku tahu ia sadar dan memperlambat langkahnya. kini dia berada di sampingku, tak tepat di sampingku. Lebih tepatnya setengah meter di sampingku.
Aku masih diam, tak bersuara. Lampu yang terpasang di sepanjang tiang penyangga masjid menyala temaram membuat susasana semakin membisu. Aku hanya berani meliriknya sebentar melihat kacamata yang bertengger di telinganya. Ia mengembangkan senyum tipis, senyum yang tak mampu tertutupi oleh redupnya cahaya lampu.

 “Mulai sekarang saya panggil kamu Mi Ho ya.”
Aku tersentak ketika sebuah kalimat meluncur dari bibirnya . aku menaikkan alis kiriku, “Mi Ho?”
“Iya Mi Ho,” jawabnya singkat.
“Artinya apa?” tanyaku polos. Aku benar-benar tak tahu artinya, yang aku tahu terakhir ia menghubungiku kemarin, ia sedang tergila-gila pada sebuah film Jepang dan mungkin saja salah satu pemerannya bernama Mi Ho pikirku.
“Ada deh,” jawabnya singkat lalu tersenyum nakal.
“Apa naa!” jawabku pelan dengan nada menekan karena aku tahu beberapa orang dalam organisasi kami sedang melihat ke arahku dan dia.
Iya tersenyum lagi, “Cari aja sendiri ya.”
“IIhh nyebelin loh, mama saya ngasih nama sampe potong kambing, masak kakak ganti tanpa mau ngasih tau artinya,” jawabku kembali dengan wajah kesal dan tubuh yang tak bisa dikontrol.
Hampir saja ku daratkan cubitanku pada lengan kirinya jika tak mengingat tatapan teman-teman lain padaku.
“Cari aja artinya, pokoknya mulai sekarang saya panggil kamu Mi ho,” ucapnya sembari menyunggingkan senyum. Senyum pertama kali yang membuatku terpikat dan rela menjalani hubungan tersembunyi ini dengannya.
Aku berlari meninggalkannya dengan wajah sedikit kesal dan malu. Melihat tatapan-tatapan yang sudah terlihat tajam menuju arahku.
Ia kembali tersenyum. Hey jangan terus tersenyum, atau aku akan terus terpikat padamu! Ucapku membatin.
***
Aku masih memajukan bibirku dan menyilangkan tangan tepat di depan dada. Aku tak menatap ke arahnya, sengaja ku buat ekspresiku benar-benar kesal. Aku heran saja bagaimana bisa seseorang yang selalu menuturkan kata-kata romantis tidak mau hanya sekedar menuturkan "kapan kami sepakat sama-sama". Ya hanya sepakat kami sama-sama, bukan "sepakat mengakui kalo kami sama-sama"
Ku lihat ia mengeluarkan senjata pamungkasnya. tersenyum manis! Aku tak tahan, urat bibirku tertarik untuk tersenyum, aku lumer.
"Kamu senang kan duduk sama-sama saya di sini?"
Aku tak menjawab, namun aku tak bisa mengontrol kepalaku untuk tidak bergerak, kepalaku mengangguk. Tubuhku benar-benar merasa tersihir hanya karena melihatnya tersenyum.
"Lebih banyak yang lebih menyenangkan dari sebuah pengakuan Mi-Ho," ucapnya sembari kembali tersenyum. "Yang penting kamu tahu saya sayang sama kamu."
Aku terdiam membisu, ku rasa deras suara hujan sore ini tak meredupkan suaranya, bahkan aku terus merasa kata-katanya yang terahir terus menggema di telingaku.
***
Aku masih duduk di sini, di tempat biasa kami bertemu, di depan akademik kampus. Tak lama ku lihat seorang laki-laki menggeret kakinya. Itu dia, itu dia! Aku segera melangkah ke arahnya, menggandeng tangannya menempatkan ia tepat di sisiku. "Kakak kenapa?" Tanyaku polos. "Nggak papa cuma radang sendi."
Aku membelalakkan mataku. "Kalau sakit kenapa ke sini?"
"Buat ketemu kamu Mi-Ho."
Aku tersipu, aku tahu wajah pucatku memerah kontras. Aku lihat beberapa orang melihat ke arahku dengan tersenyum geli. Aku tak tahu apakah wajahku benar-benar terlihat memerah.
"Saya mau sama kamu di sini terus, tapi saya harus pergi."
Aku menggeleng, aku tak ingin dia pergi, tak ingin, aku tak ingin kebahagiaan ini pergi. Bukankah aku pernah ditinggal, dan mengapa sekarang harus ditinggal lagi. Aku menggeleng dengan kencang, namun ia tetap berdiri dengan kaki satu yang pincang. "Maaf saya pergi."
Aku berteriak kencang, seantero gedung melihat ke arahku, aku tak bisa menahannya, ia pergi. Aku memukul-mukul dinding di sampingku. Aku merasa banyak orang yang menarik tanganku, menggeretku, memaksaku mengikuti mereka. Aku tak berdaya.
***
Sudah 7 hari aku tak mengganti warna bajuku, aku tak tahu siapa mereka, tapi mereka terus mengganti bajuku dengag pakaian warna putih. Hampir setiap hari kutunggu ia di sini, namun yang datang hanyalah teman-teman organisasi menulisku, bukan dia. Aku melihat mereka berusaha tersenyum di hadapanku, hanya berusaha tanpa hasil. Sering kutanyakan pada mereka tentang dia, tapi kulihat hanya mereka yang berusaha menahan air mata. Suatu hari kutanyakan pada Kak Nur dimana dia, namun kak nur tak bisa menahan tangisnya. Sambil tersedu ia menjawab. "Kamu nggak bisa begini terus Zhifara, dia sudah 'dipanggil tuhan' 2 tahun lalu. Dia nggak pernah ada di Islamic center, depan kampus atau dimana pun setelah dua tahun ini Zhifara. Tolong berhenti membuat karakter khayalanmu, dia sudah nggak ada Zhifara. Kamu harus bangun dari khayalanmu tentang Adam."
Wajahku memerah, aku berteriak, aku yakin kak Nur berbohong, Adam masih ada! Masih! Aku geram ku lempar gelas yang berada di samping ranjangku ke arah kak Nur, ia berteriak. Beberapa orang dengan seragam putih datang mengikat tanganku di samping ranjang. Aku mengerang mereka menyuntikkan cairan dalam tubuhku, aku terlelap.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 comments:

Unknown said...

sipp mampir yahh :D

Me said...

okehh follback ya kak :D

Post a Comment

Recent comments

Liariteteh. Powered by Blogger.