RSS

23

aku hanya diam, mulutku terkatup rapat. mataku tertuju pada beberapa manusia yang sibuk membagikan doorprize setelah jalan santai. riuh ramai terdengar seantero rektorat unmul, beberapa orang yang memegang nomor yang disebutkan bergiliran maju ke depan panggung, menunjukkan potongan nomor yang mereka pegang lalu mendapatkan hadiah dan di sambut tepuk tangan lainnya.
"Saya mau ngajak Zhifa jalan."
"Apa?" ucapku spontan, aku sama sekali tak mendengar apa yang dikatakan laki-laki yang berada tepat di sampingku.
"Saya mau ngajak Zhifa ke suatu tempat," ulangnya. "Agak jauh, tapi kalau Zhifa gak bisa gak papa kok," ucapnya kembali.
"Kapan?" tanyaku balik.
"Habis ini."
"Emm bisa kok." saya nggak mungkin bilang enggak kalau kamu yang ngajak kak! 
aku masih berdiri di sampingnya, tepat di sampingnya lalu kudekatkan bibirku ke telinganya. "Jam berapa sekarang?"
ia mengangkat lengan kirinya dilihatnya jam hitam yang biasa ia kenakan, aku melirik sedikit ke arah jamnya, lebih tepatnya ke arah tulisan yang berjalan di tengah jamnya. namaku!
"Jam 9."
"tapi jam 11 saya harus pulang," ucapku kembali berbisik.
"Jadi sekarang aja kah?" tanyanya sembari mengangkat alis kanannya.
aku mengangguk setuju. 
"Mba Raya, ini saya mau pulang kartu doorprizenya buat mba aja," ucapnya lalu memberikan kupon doorprizenya pada salah satu staf akademik sembari menyunggingkan senyum.
aku melirik pada kupon kuning di tanganku, lalu menatapnya sebentar. ia mengambil kupon itu dari tanganku lalu kembali memberikannya pada mba raya.
"Punya siapa lagi ini," tanya mba raya refleks.
ia terdiam sejenak, aku tahu ia tak mungkin menyebut namaku karena akan menimbukan banyak spekulasi, bukankah ini hubungan tersembunyi yang memang harus terus ditutupi. entahlah pikiranku selalu melayang jika memikirkan tentang itu, yang aku tahu dia sekarang di sampingku, hanya di sampingku menyunggingkan senyum favoritku.
"Punya saya juga, hebat kan saya punya 2 mba," jawabnya sedikit kikuk.
ia mengangguk ke arahku, aku tahu kami harus pergi tapi bukan dengan arah jalan yang sama, karena aku tahu beberapa orang yang memiliki kepentingan dengannya cukup memperhatikan kami sejak aku berbisik padanya.
aku pun berjalan ke arah kanan, memutar melewati samping gedung MPK lalu menuju perpus tempat aku memarkirkan motorku, sedangkan ia langsung menyebrang tanpa memutar. aku terkadang berfikir hubungan kami cukup lucu-menarik-unik-penuh teka-teki dan tantangan.
***
"Habisin yah," ucapnya kembali tersenyum.
aku membelalakkan mataku, sebuah kelapa utuh berada di depanku.
"Jadikan kita minum es kelapanya," lanjutnya cengengesan.
"Nggak gini juga kali kak segelondong," jawabku sekenanya.
dia hanya tersenyum. "Habisin ya."
"Nanti kembung saya."
"Nggak air kelapa bagus buat kesehatan ya kan palek?"
penjual es yang sepertinya sudah dikenalnya cukup lamu mengangguk yakin. "Siapa ini Dam?" tanya penjual itu padanya.
"Adek tingkat saya," jawabnya singkat.
"Oh, eh palek tinggal beli es batu dulu ya."
"Jangan lama-lama ya lek," ucapnya,
aku yang duduk di sampingnya hanya tersenyum melihatnya menyendokkan lontong gado-gado ke mulutnya. 
"Nanti kalau saya lulus gimana?" tanyanya tiba-tiba.
"Ya gak papa, masak saya ngelarang kakak lulus kuliah," jawabku.
"Kalau saya lanjut S2 gimana?"
"Ya gak papa."
"lanjut s2nya jauh, kamu gimana zhif? masih mau kah nunggu saya?" tanyanya dengan nada cukup serius.
"Iya saya tunggu kak."
"gimana sama hubungan ini?" tanyanya lagi.
"yah jalani aja."
"gimana caranya? long distance gitu?"

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mi-Ho


Aku keluar dari pintu jamaah perempuan Masjid terbesar se-Asia Tenggara lalu segera menuruni tangga sebelah kanan, tangga terdekat dari pintu keluar, menuju lantai satu masjid. aku menyapu pandanganku ke bawah, berharap menemukan orang yang ku cari, namun nihil, aku tak menemukannya.
“Nanti makan dimana kak?” tanyaku pada kak Nur, kakak tingkatku yang berada tepat di sebelahku. Aku tahu dia sadar aku sedang mencari orang ‘itu’ dan pertanyaan ini ku harap dapat menghapus kesadarannya akan pencarianku.
“DI bawah, tempat kita buka puasa tadi, ada yang lain di sana,” jawabnya lembut mengingatkanku pada sekumpulan manusia yang terikat dalam sebuah organisasi penulis.
Kakiku akhirnya menapakkan tumitnya pada anak tangga terakhir, lalu perlahan melangkah ke arah kanan. Aku membuka lebar mataku yang membuat kornea mata berwarna coklat milikki terlihat membulat penuh ketika mendapati orang yang ku cari tak jauh berada di jalan yang sama-sama ku tuju.
“Saya mau ke kamar kecil dulu ya Zi.”
“Heh? Apa kak?” tanyaku terkejut.
“Saya ke kamar kecil dulu, kamu duluan aja,” jawabnya singkat.
“Eh iya kak,” jawabku cepat. Sedetik saja kau muncul di hadapanku aku kehilangan konsentrasi!
Aku melangkahkan kakiku menuju arahnya namun ku lihat ia tak akan keluar dari pintu masjid yang sama dengan yang akan aku lewati. Aku berusaha seolah biasa melangkahkan kakiku lebih lebar dari sebelumnya. Jarakku kini tepat satu meter di belakangnya. Dia tak menengok ke arahku, aku berusaha menyelaraskan langkah kakiku dengannya, dan aku tahu ia sadar dan memperlambat langkahnya. kini dia berada di sampingku, tak tepat di sampingku. Lebih tepatnya setengah meter di sampingku.
Aku masih diam, tak bersuara. Lampu yang terpasang di sepanjang tiang penyangga masjid menyala temaram membuat susasana semakin membisu. Aku hanya berani meliriknya sebentar melihat kacamata yang bertengger di telinganya. Ia mengembangkan senyum tipis, senyum yang tak mampu tertutupi oleh redupnya cahaya lampu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Recent comments

Liariteteh. Powered by Blogger.