RSS

pilih-an


Sebulan setelah kelulusan SMA. Aku duduk mematung di beranda rumah memegang sepucuk kertas pemberitahuan tentang pendidikanku yang akan berlanjut ke kota. Sebelum Ujian Nasional, aku mengikuti tes beasiswa salah satu Perguruan Tinggi Negeri dan ternyata aku lolos seleksi. Kebahagiaan membuncah di dadaku ketika surat itu datang satu hari lalu. Ibu dan ayah akhirnya merestuiku walaupun sebelumnya terjadi pertimbangan yang sangat berat, terutama pada ayah yang akan melepasku, anak gadis semata wayangnya ke kota. Namun aku berhasil meyakinkannya kalau aku bisa menjaga diriku.

Matahari mulai beranjak tinggi. Ibu dan ayahku belum juga pulang. Mereka sedang ngerewang di rumah sahabatku, Lastri, yang dua hari lagi akan menikah. Dia dilamar oleh Sulaiman, saudagar terkaya di desaku. Aku sempat terperanjat kaget ketika mendengar ia akan menikah. Dulu kami memiliki cita-cita yang sama untuk meneruskan sekolah ke kota. Namun kini pupus sudah harapannya setelah ia dilamar oleh saudagar itu seminggu setelah pengumuman lulus dari sekolah. Aku sempat kecewa padanya mengapa ia menerima lamaran itu, padahal ia bisa saja menolak lamaran saudagar itu dan ikut ke kota bersamaku, toh ia juga lolos tes beasiswa itu.“Tidak ikut ngerewang[1] Nab?” Seseorang membuyarkan lamunanku.“Eh Dimas, sudah dari tadi di situ?” tanyaku ketika tersadar ia telah berada di depanku.“Ditanya kok malah nanya balik,” ucapnya sembari tersenyum padaku kemudian duduk tepat di sebelahku. “Nggak ikut ngerewang di rumah lastri?” tanyanya kembali.Aku menggeleng. “Mungkin nanti saja saat akad nikahnya, lusa kan?” tanyaku.“Iya lusa,” jawabnya singkat. “Kau tidak suka Lastri menikah?”Pertanyaan itu bagai petir yang menyambarku di siang bolong. “Kita bicara yang lain saja ya,” jawabku singkat.“Baiklah bagaimana rencana keberangkatanmu ke kota?”Aku sedikit menyunggingkan senyum, “Kau tahu juga?”“Kabar tentangmu yang akan melanjutkan sekolah ke kota sudah jadi buah bibir seantero desa Sukaramai Zainab,” ucapnya penuh semangat. “Kapan kau berangkat?”“Kamis ini Mas, sehari setelah pernikahan Lastri, aku tak ingin melewatkan hari pernikahannya,” jawabku. “Kau? Apa rencanamu setelah ini?” tanyaku balik padanya.“Karena aku tak diterima seleksi itu, ya mau tak mau aku membantu Bapakku memelihara sawah dan ternaknya,” ucapnya bangga.“Baguslah kalau begitu,” ucapku sembari menyunggingkan senyum.“Aku pulang dulu ya, takut Bapak mencariku,” ucapnya lalu turun dari beranda rumahku yang memang sedikit tinggi. “Kalau sudah sampai kota jangan lupa kirim surat padaku haha,” ucapnya sembari tertawa.Aku hanya menyunggingkan senyum tipis. Hidup ini kejutan, kami yang berasal dan lahir dari desa yang sama memiliki nasib yang berbeda, ucapku membatin.***Ayam belum saja memecah keheningan pagi, namun Ibu dan Ayah sudah tak berada di rumah. Seperti kebiasaan di desa lainnya. Ibu dan Ayah setia dan tulus membantu pernikahan Lastri yang akan dilangsungkan pagi ini.Aku beranjak dari kasurku, mengambil air wudhu lalu melaksanakan sholat. Setidaknya aku harus banyak bersukur pada-Nya atas nasibku bukan, yang setidaknya lebih baik dari pada kedua temanku, Lastri dan Dimas.Aku berbicara pada-Nya lama sekali hingga aku tak sadar waktu telah menunjukkan pukul delapan pagi, aku harus segera mandi, bersiap diri untuk datang ke rumah Lastri menghadiri pernikahannya yang akan berlangsung tepat jam 10.00 pagi.Kukenakan baju terbaik yang kumiliki. Tidak mewah, rapi dan bersih saja kupikir cukup. Kini aku melangkah menuju rumah Lastri yang tak begitu jauh.Rumah Lastri dihias cukup indah dengan dua janur kuning melengkung di depan rumahnya.Beberapa orang kulihat duduk-duduk di beranda rumah Lastri saat aku tiba. sedangkan bapak-bapak sibuk mengangkat kursi tamu serta meja yang disediakan untuk hidangan. Cukup mewah pikirku.Aku masuk ke dalam rumah. Semua orang sibuk bolak-balik menyiapkan segala sesuatunya. Tanpa pikir aku langsung menuju kamar Lastri yang berada tepat di belakang ruang    tamu. Aku membuka pintu itu perlahan, bunyi decitan pintu sejenak terdengar. Kulihat Lastri berada di depan meja rias yang masih nampak baru.“Masuk Nab,” ucap Lastri sembari melengkungkan senyum bulan sabit padaku. Wajahnya nampak merah merona disapu pemulas wajah. Rambutnya yang disanggul dan diberi hiasan melati membuatnya nampak lebih dewasa.“Kau cantik Las,” ucapku ketika sudah berada di sampingnya.Ia kembali tersenyum, bagian pipi bawahnya sedikit masuk ke dalam membentuk cekungan. “Lama aku menunggumu untuk datang menengokku, kau lupa temanmu ini akan menikah?” tanyanya nampak sedikit kecewa.“Kau yakin akan menikah Las?” tanyaku padanya.Ia mengangguk.“Kau tak ingin mengubah keputusanmu? Kau masih bisa membatalkannya sekarang, lalu lusa ikut denganku untuk daftar ulang kuliah,” ucapku membujuk.Ia menggeleng. Rona wajahnya berubah nampak ia menahan beban.“Kau mencintainya?” tanyaku menilik.Ia mengangguk enggan.“Jangan berbohong padaku Las, kau tak mencintai saudagar beristri empat itu,” ucapku sedikit geram.Ia sedikit tersentak, lalu memicingkan matanya padaku. Kulihat ada gumpalan air di balik kelopak matanya akan mengalir.“Katakan padaku Las, kau tidak mencintainya, jangan pupuskan cita-citamu untuk orang yang tidak kau cintai,” ucapku menekan.“Ah! Tau apa kau soal cinta Zainab. Kau tak pernah tahu! Aku melakukan ini semua, memupuskan cita-citaku, semua itu karena cinta. Karena cintaku untuk adik-adikku Nab! Kau tak akan pernah mengerti itu. Kau tak akan pernah mengerti betapa cintaku kepada mereka, Zainal, Lutfi, dan Nabila tiga orang adikku yang seharusnya mendapatkan kasih sayang. Kau tak pernah merasakan betapa besarnya cintaku kepada adik-adikku, membuatku bertahan untuk hidup ketika Ibuku harus pergi menjadi TKW di Arab dan ayahku kawin lagi. Kau tak tahu kan? Pernah kau berfikir ketika aku ikut pergi ke kota melanjutkan sekolah bersamamu, itu berarti aku melepas cintaku kepada mereka, kepada adik-adikku yang masih butuh aku. Membiarkan mereka di sini tanpa ada yang mengurus dan mati kelaparan sama saja dengan membunuh rasa cintaku.Karena cinta aku rela melakukan apapun untuk mereka bahkan untuk menikah dengan saudagar beristri empat itu,” ucapnya terisak, tetesan air mengalir di pipinya. “Walaupun aku tidak mencintai suamiku, namun aku menikah dengannya tetap karena cinta. Cinta untuk adik-adikku. Hidupku tak memiliki pilih-an seperti hidupmu,” Lastri terisak, perlahan butiran-butiran kecil mengalir di pipinya.Ngett… suara pintu berdecit, seorang perempuan kulihat masuk. “Ya ampun nduk[2], ini make up nya kok bisa hancur gini?”“Aku hanya terlalu gembira Bude[3],” ucapnya lirih dengan suara yang sedikit parau.“Sini biar Bude baikin make upnya teman Lastri tunggu di luar ya,” pintanya padaku.Aku mengangguk. Tak lama berselang Lastri keluar dari kamar, lalu dituntun duduk di samping saudagar kaya itu. Saudagar itu pun mengucap ijab kabul lalu dilanjutkan kesaksian sah dari beberapa saksi. Lastri mencium tangan saudagar itu, butiran kecil kembali mengalir membasahi pipinya. Aku tahu ia terluka, sangat terluka. Aku mulai berfikir jika banyak orang berkata hidup ini ialah ketidakpastian yang memiliki banyak pilih-an. Lalu dimana pilih-an untuk Lastri?

[1] Membantu tetangga yang punya acara –Bahasa Jawa
[2] Panggilan untuk anak perempuan
[3] kakak perempuan dari orang tua kita

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

Recent comments

Liariteteh. Powered by Blogger.