Suara
adzan berkumandang. Segera kuambil air wudhu lalu kutunaikan kewajibanku untuk
sholat maghrib. Tepat setengah enam sore tadi aku keluar dari kelasku. Lelah
begitu menderaku sore ini. Tak ada tujuanku setelah sholat kecuali tidur.
ah…
hari yang cukup melelahkan, aku menjalankan lima kuliah dengan masing-masing
tiga sks. Aku tidak pernah membayangkan itu sebelumnya, namun aku menjalani hal
itu sekarang, menjalani dua jurusan sekaligus.
Sastra Inggris dan sastra Indonesia. Kadang sekilas aku tertawa sendiri mengingat pilihanku. Saat dulu pertama kali aku akan memasuki dunia kampus aku takut masuk Bahasa Inggris karena takut bersaing dan lebih memilih masuk Sastra Indonesia yang sudah menjadi makananku sewaktu SMA. Namun setahun kemudian aku menjerumuskan diriku sendiri dengan mengikuti SNMPTN dan masuk jurusan sastra Inggris tanpa melepas sastra Indonesia. Jika satu jurusan saja berat maka keputusanku mengambil dua jurusan itu lebih berat bukan?
Sastra Inggris dan sastra Indonesia. Kadang sekilas aku tertawa sendiri mengingat pilihanku. Saat dulu pertama kali aku akan memasuki dunia kampus aku takut masuk Bahasa Inggris karena takut bersaing dan lebih memilih masuk Sastra Indonesia yang sudah menjadi makananku sewaktu SMA. Namun setahun kemudian aku menjerumuskan diriku sendiri dengan mengikuti SNMPTN dan masuk jurusan sastra Inggris tanpa melepas sastra Indonesia. Jika satu jurusan saja berat maka keputusanku mengambil dua jurusan itu lebih berat bukan?
Tak
lama setelah ku ucap salam seusai sholat ku rebahkan tubuhku perlahan di atas
kasur beseprai biruku. Perlahan kupejamkan mataku. Pikiranku mulai melayang,
aku belum tidur. Atau bisa juga di bilang masih tidur ayam. Tak butuh waktu
lama, aku terlelap.
Seorang
laki-laki yang cukup ku kenal setahun ini muncul di awal mimpiku. Ia tersenyum,
senyum yang membuatku terpesona dulu. Aku melihatnya dekat sangat dekat ia
mengajariku, Entahlah apa yang ia ajarkan. Yang ku rasakan hanya ketenangan,
tenang dia masih ada bersamaku. Masih dengan senyumnya bayangannya mulai
memudar, aku mengejarnya berusaha mengejarnya namun ia semakin jauh dan
menghilang. Aku merasa dadaku sesak nyeri yang terasa. Aku mulai mengingat aku
pernah merasakan ini dua tahun lalu saat kehilangan orang yang ku sayang. “Ah,”
aku mendesah dalam mimpiku. “Tuhan,” rintihku. “Jangan pergi,” ucapku terisak.
Seorang
mendekatiku menepuk bahuku, laki-laki itu ia kembali aku tersenyum ingin ku
peluk dirinya, namun ia kembali menghilang. Aku tak begitu tau bagaimana
seterusnya mimpiku berjalan.
“Reyza.”
Kudengar
seseorang memanggil namaku dalam mimpi samar-samar.
“Reyza.”
Suara
itu semakin ku dengar bertambah keras dan jelas.
“Iya,”
sahutku aku yakin suara ini berasal dari dunia nyataku. ‘Aku lelah,’ ucapku
membatin. Aku berusaha membuka mataku.
Kudengar
kembali suara seorang perempuan yang sangat ku kenal memanggilku. Aku beranjak
dari kasurku dalam keadaan benar-benar hanya 20% kesadaran aku berjalan
mendekati tangga. “Iya,” sahutku.
“Tadi
masak nasi ade-adenya kok gak dikasih makan?”
Aku
sedikit terkaget namun hanya menaikkan kesadaranku menjadi 30%. Ah ingin
rasanya ku gedor tradisi konvensional ini. Haruskah wanita yang selalu di dapur
walaupun ia benar-benar dalam keadaan sangat lelah? Haruskah ia yang mengurusi
masak nasi, rebus air, siapkan makanan setelah ia lelah seharian bekerja di
luar rumah. Kenapa harus ada kata-kata ‘apapun profesimu di luar, kau tetap
harus jadi perempuan di rumah’ ah ingin rasanya ku tentang semua ini. Aku
tak pernah mempermasalahkan masalah ‘harus bisa masak’ karena aku suka masak.
Tapi aku gak suka masak dalam keadaan lelah.
Dengan
kesadaran yang hanya 40% ku lakukan semua instruksi Ibu ku. Ambil telor, potong
sosis, dan aku tidak ingat lagi selanjutnya karena sebagian nyawaku masih
tertinggal dalam mimpiku.
Tak lama
aku kembali ke kamarku. Saat ku coba pejamkan mataku, aku malah mendapatkan
kesadaranku 78%. “Ah,” aku kembali mendesah kesal.
Beberapa
saat ku guling-gulingkan tubuhku di atas kasur. Ku pejamkan mataku kembali,
namun hasilnya nihil. Aku teringat mimpiku. Ku ambil Handphone yang ku taruh di
bawah bantalku. ‘Hei kak :),’ sebuah pesan singkat ku kirim, tak lupa
dengan emoticon senyum di belakangnya.
‘Hei.’
‘Sudah
sampai rumah?’ tanyaku kembali penuh cemas, aku merasa beberapa hari ini ia
mulai berubah menjauh.
‘udah
kok.’
Aku
bingung, ku putar otakku. ‘kau tak tau kak? Aku tak pernah menjadi pengirim
pesan singkat pertama kepada laki-laki sebelum mereka mengirimku pesan singkat
terlebih dahulu. Cuma kau kak Cuma kau, Bisakah kau hargai aku sedikit? Kadang
aku merasa kau tidak butuh aku karena kau tak pernah mencariku,’ ucapku
membatin.
‘Sudah
mau tidur kak?’
‘Belum
kok, kenapa?’
‘cape
ya? Selamat istirahat ya kak :)’ ku kirim pesan singkatku, masih dengan emoticon
senyum yang sama di belakangnya, dengan harapan ia mau membagi emoticon
senyumnya seperti yang dulu sangat murah ia berikan padaku.
‘Ia,
makasih.’
Deg!
Cuma makasih? Okeh aku kehabisan kata-kata, nyali dan kepercayaan diri untuk
membalas pesan singkatnya.
Aku
bahkan nyaris tak percaya. Dia tak seperti dirinya yang dulu. Aku bahkan
berpikir dia tak memncintaiku lagi. Sudah lima bulan bukan kami jalani semua
ini namun di bulan ke enam dia seperti tak menganggapku apa-apa. Aku nyaris
berpikir untuk pergi, aku tak tahu bagaimana caraku menghadapinya lagi.
Terkadang
saat ku pikir aku mungkin lebih baik pergi, sekelibat gambaran kenangan manis
tentangnya datang menghampiri. Aku tersedu menangis, yah menangis kau tahu
bukan hanya menangis yang bisa wanita lakukan saat ia benar-benar merasa tak
berarti.
Hubungan
ini berasa sedikit hambar atau sangat hambar? Entahlah ia bahkan tak pernah
menanyakan kabarku baik atau buruk. Atau memang dia sudah tidak peduli lagi
denganku? Biarlah, biarlah mungkin ia tak mencintaiku lagi.
Malam
begitu sunyi yang ku tahu hanya tinggal aku dan pikiranku yang terus bermain
tanpa henti. Aku mencoba mencari apa yang ku ingin tahu tapi aku tetap tidak
tahu. Satu yang ku pahami dari hubungan ini, aku tak pernah mampu untuk memahaminya.
Aku kembali
berusaha tidur, menangkap semua pikiranku yang bermain. Mereka semua harus
segera disimpan sebelum aku kembali menangis tersedu tanpa henti.
Tuhan…
Jika
ia harus pergi..
Buat
ini tak terlalu sakit untukku..
Tuhan…
Jika
memang ia pantas untuk pergi…
Jangan
kau buat luka yang begitu perih…
Tuhan…
Jika
memang aku dan dirinya tak sejalan..
Biarkanlah
jalan itu tak bersinggungan…
Agar
tak ada yang terluka…
Tuhan…
Jika
dia tak ingin lagi bersama…
Aku
akan mengalah untuknya…
Kesadaranku
menghilang, aku jauh memasuki alam bawah sadarku, mimpi. Ia datang kemudian
menghilang, menyisakan seberkas luka dalam kegelapan.
0 comments:
Post a Comment