cerpen ke tiga yang terbit di kaltim post, karena lagi ribut pelegalan LGBT jadi yaa, sedikit ngangkat masalah ini...
“Jika hujan dan pelangi bersatu, aku tahu kita berada di antaranya”
***
Balikpapan petang, cahaya merah saga mulai menghiasi langit-langit
kota minyak. Aku masih terdiam di kamarku termenung megumpulkan serpihan
kekuatan yang tersisa dalam diriku. Aku berdiri, keluar dari pintu kamarku,
kulihat Ibu dan Ayah berada di kamar, mereka sedang duduk di ranjang jati
sembari berbincang. Ku beranikan diriku masuk. Mereka menengok ke arah wajahku
yang kusut. Aku duduk melantai tepat di hadapan mereka lalu ku tarik nafas
dalam-dalam. Kuyakinkan diriku untuk mengatakan ini pada mereka. “La..ras ha…mil,”
ucapku ragu tanpa berani menatap mata Ayah. Aku tahu mungkin wajahnya memerah
ingin segera mendaratkan tangannya ke wajahku. Namun yang kudapatkan hanya
keheningan sesaat. Kulihat air mata jatuh membasahi pipi Ibu yang duduk tepat di
samping Ayah. Aku malu, sungguh malu aku tak sanggup lagi menyimpan aib ini
sendiri.
Ayah berdiri keluar menuju pintu kamarnya, “Dengan siapa kamu
melakukan itu?” suara Ayah terdengar parau.
“K..ak Rino,” ucapku terbata, kuangkat kepalaku mencoba melihat
reaksi ayah yang memunggungiku, sedangkan Ibu tetap duduk di kasurnya sembari
mengusap air mata yang semakin membasahi pipinya.
Kulihat Ayah mengepalkan tangannya di pintu. Aku tahu ini berat
baginya, mengetahui putri pertamanya hamil di luar nikah, tapi ini di luar
rencana, aku tak pernah merencanakan ini, begitu juga Kak Rino.
Siang itu, seperti mahasiswa
perantauan lainnya yang memiliki pacar di tanah rantau. Aku mengunjungi rumah
Kak Rino yang tidak lagi memiliki orang tua. Kami hanya bertemu seperti biasa,
hanya bercanda tawa sesekali menggelitik satu sama lain di ruang TV, lalu tak
sengaja mata kami bertemu, hening tercipta. Ia mengecupku perlahan, aku tak begitu
ingat apa yang dilakukannya lagi aku hanya menutup mataku. Kami memang sering
melakukan hal ini dan aku tidak begitu merasa takut akan melakukan lebih. Sayangnya,
kali ini aku terlalu terbuai hingga tak sadar bahwa ini berlanjut lebih jauh. Aku
memang tak begitu ingat apa saja yang dia lakukan padaku, namun kusadari aku sangat
menikmati percintaan kami. Sesekali kulihat matanya menatapku dalam-dalam
seolah ingin merasakan yang aku rasakan.
Ketika percintaan ini berakhir kami terdiam beberapa saat menyadari
apa yang telah kami lakukan. Ia mencium keningku mesra, “Kau menikmatinya?”
tanyanya perlahan.
Aku mengangguk pelan sembari memperbaiki pakaianku.
“Aku ingin sekali merasakan kenikmatan yang kamu rasakan sayang,
aku ingin ada di posisimu posisimu,” ucapnya dengan nada yakin sembari
memelukku lalu kami tertidur dalam bisu.
***
“Dia harus bertanggung jawab,” ucap Ayah setelah tiga hari
mendiamkanku.
Aku menggeleng lemas di kamar orang tuaku. Ku pegang tangan Ibuku
yang terbaring lemas shock dan masih tak mau berbicara padaku. “Tak bisa
Ayah..,” kataku dengan suara parau berusaha berusaha memberanikan diri
menjawabnya.
“Kenapa? Dia tak mau bertanggung jawab?” nada Ayah meninggi.
Aku menggeleng, “Laras tak ingin menikah dengannya Ayah..,” ucapku
sendu.
“Jalang! kalau kau tak mau menikah dengannya mengapa kau mau
bercinta dengannya?” kelekar suara Ayah menggema dalam ruangan.
Kudengar Ibu semakin terisak. “Dia sudah berbeda Ayah…,” air mata
yang kutahan di pelupuk mata tumpah. Ada sesak di dada yang tak bisa ku
jelaskan pada mereka.
“Persetan, janinmu sudah tiga bulan, besok Ayah akan ke Samarinda,
Ayah akan minta keparat itu bertanggung jawab!”
***
Hujan mengguyur kota tepian. Terik
mentari siang pudar ditutupi awan kehitaman. Ayah mengemudikan mobilnya
perlahan memasuki area Griya Bakti. Aku yang duduk di bagian tengah sesekali
menatap keluar jendela memperhatikan setiap rumah yang kulewati.
“Belok mana?” tanya ayah tiba-tiba saat
mendapati perempatan di depan.
“Kiri..,” jawabku sayu. “Rumah
ketiga sebelah kanan,” tambahku.
Mobil berhenti tepat di depan rumah
yang tak asing lagi bagiku. Hampir setiap hari ku singgahi rumah ini. Aku
terdiam sejenak, sekelebat mozaik-mozaik berhamburan dalam benakku.
“Ayo!” panggil Ayah geram yang
melihatku hanya duduk diam dalam mobil.
Aku menelan ludah. Ingin sekali ku
katakan pada Ayah lebih baik kita pulang saja. Namun kata-kata itu hanya bisa
tercekat di tenggorokanku, tertahan saat ku lihat wajah Ayah tegang. Aku tahu
kekecewaannya, kekecewaan yang tak pernah bisa ku perbaiki.
Ayah berada tepat di pelataran rumah kayu bercat coklat, aku
mengekor di belakangnya. Aku tahu ini tak akan menghasilkan apa-apa, tak akan
ada yang berubah. Tapi ia tetap memaksaku untuk ikut. Ingin rasanya ku langkahkan kaki ku menuju mobil
kembali andai saja bisa. Tapi kenyataannya aku telah berada di rumah ini
bersamanya.
Ayah menanyakan motor bebek merah yang terparkir di halaman rumah Kak Rino padaku
mungkin untuk memastikan ia berada di rumah. Ayah mengetuk pintu beberapa kali,
namun tak ada yang menyahut mau pun memberikan tanda-tanda akan membukakan
pintu. Ia mulai berang, Ia mendorong pintu dengan keras. Seorang lelaki dan
perempuan berambut panjang tergerai berada tepat di ruang tamu dalam keadaan topless,
mata Ayah melotot memandang lelaki berambut cepak yang terburu-buru mengenakan bajunya. Segera Ayahku menghampirinya, diangkatnya
kerah baju lelaki itu. “Kamu Rino sudah menghamili anak saya sekarang mau menghamili
perempuan lain lagi?!” bentak Ayah geram lalu mengarahkan pandangannya pada
perempuan berambut panjang.
Lelaki itu mengangkat kedua tangannya, badannya gemetar “Sa…saya
Desta om bu..bukan Rino,” sautnya gemetar saat ayah hendak mendaratkan tangan
kanannya yang mengepal ke wajahnya.
Aku tersedu, ketika ayah menurunkan tangannya dari kerah lelaki itu lalu
mengarahkan pandangannya padaku. “Mana Rino!?”
Aku mengangkat wajahku lalu kutatap perempuan berambut panjang itu.
Ayah membelalakkan matanya. Aku semakin tersedu, kini Ayah telah mengerti Kak
Rino telah benar-benar berbeda, ia tak lagi seperti yang dulu, ia tak lagi
menjadi laki-laki. Ia telah menjadi Bida Bianglala bernama Rina. Perempuan
cantik berambut panjang. Kulihat Desta yang juga ikut membelalakkan matanya,
begitu sadar wanita yang hendak ia cumbu adalah lelaki, lalu menatap geli pada
dirinya sendiri.
Ayah keluar dari rumah Kak Rino dengan wajah merah padam dan
kesadaran penuh bahwa anaknya harus melewati semua ini tanpa lelaki di
sampingnya. Aku tahu ini sulit tapi aku tak mau ambil pusing, maupun berat hati
ketika harus menjadi single
mother, dan hidup bersama seluruh caci maki masyarakat karena hamil di luar nikah. Namun bagaimana aku bisa tidak pusing
dan berat hati ketika nanti harus ku jelaskan pada anakku kalau Ayahnya adalah
seorang perempuan.
Samarinda, 8
Agustus 2015
By: Azizatur
Rahma Liari
Note:
Bida: Bidadari
Bianglala: Pelangi
Sumber:
KBBI
2 comments:
keren de ... ^^b
kubacai juga ceritamu lol
Ini versi yg udah di edit kak, ada yg belum di edit lebih vulgar dan ekspresif kata2nya muehehe. Duyy kakak baca curhatan2 saya gaje itu kak wkwk
Post a Comment